Skip to main content

Tentang Berkebun


Perjalanan berkebun saya dimulai pada awal tahun 2020, saat itu pandemi belum mulai. Ada dua alasan mengapa saya mulai menanam, pertama karena saya merasa bosan di rumah aja mengurus anak dan suami, kedua karena saya mau makan sayur pakcoy yang mudah saya dapatkan di Depok, tapi sulit di Prabumulih. 

Sebelum tanaman sayur, tanaman pertama yang saya rawat adalah tanaman hias lidah mertua. Kemudian saya mulai menanam kembali atau regrow sayur kangkung, wortel, dan pakcoy dari sisa masak. Lidah mertua yang saya beli waktu itu ukurannya sudah cukup tinggi, tapi hanya ada 3 helai di dalam satu pot ukuran sedang. Saya melakukan percobaan stek untuk memperbanyak lidah mertua saya. Hasilnya gagal, karena saya meletakkan pot yang berisi stek tanaman di tempat yang terlalu teduh, sementara lidah mertua sangat suka dengan sinar matahari. 


Begitu juga dengan wortel dan pakcoy, berkali-kali saya coba tapi pertumbuhannya selalu berhenti setelah beberapa cm helai daun muncul, kemudian mulai membusuk dan akhirnya mati. Tapi tidak dengan kangkung, sayur ini tumbuh subur sampai saya bisa memanennya berkali-kali untuk dimasak. 

Kemudian saya mulai menanam dari biji, ada cabai dan jeruk nipis. Percobaan menanam dari biji pertama kali ini saya pikir akan gagal, karena setelah satu minggu menyemai, belum juga kelihatan perkecambahannya. Tapi ternyata beberapa hari setelah menganggap mereka tidak akan tumbuh, kecambah-kecambah cabai mulai bermunculan hingga tumbuh subur dan saya bisa memanen buah cabainya. 

Proses menanam dari biji adalah yang paling membuat saya banyak belajar. Sepertinya terakhir kali saya menyaksikan perubahan biji menjadi kecambah adalah ketika SD, saat percobaan memasukkan biji kacang hijau ke gelas plastik yang sudah dialasi kapas basah. Ketika mencoba kembali dengan tanaman cabai, saya baru tahu kalau cabai yang biasa kita makan itu hadir dari bunga yang tumbuh terlebih dahulu, kemudian setelah beberapa lama bunga itu akan mengering, baru kemudian muncullah cabai, sedikit demi sedikit dari ujungnya. Hal ini membuat saya berpikir, saya belajar apa sih kemarin di sekolah? Kok sampai baru bisa tau proses ini. 


Dari situ saya mulai banyak belajar tentang berkebun, mulai dari berbagai teknik menanam, sampai soal tanah dan ekosistem. Banyak hal baru yang saya belum ketahui sebelumnya, membuat saya lagi-lagi berpikir soal pelajaran waktu sekolah dulu, kenapa di sekolah ini tidak diajarkan ya? Padahal ilmu-ilmu ini basic sekali untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. 

Misalnya soal bagaimana kita harus memuliakan tanah. Tanah adalah tempat makanan kita tumbuh hingga bisa sampai di piring kita, kalau tidak dipelajari sejak dini bagaimana cara memuliakannya, bagaimana nanti di masa depan? Atau kalau dipelajari ketika sudah dewasa dan hanya oleh segelintir orang, apakah semua orang bisa dapat makanan ketika bumi sudah tidak sehat lagi nantinya? Tentu saja ada teknik menanam hidroponik, aquaponic, bahkan di dalam ruangan tanpa cahaya matahari sekalipun. Tapi tetap saja, kalau tanah sudah tidak lagi subur, apakah teknologi-teknologi canggih itu bisa memenuhi kebutuhan semua manusia di bumi? 

Sekali lagi, lewat berkebun saya banyak sekali belajar ilmu baru dan refleksi diri. Setelah mencoba menanam Seledri dari biji, saya merasa bersalah atas Seledri-Seledri yang terbuang di mangkuk bubur dan soto yang selama ini saya makan. Ternyata tanaman kecil itu butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa tumbuh tinggi hingga akhirnya dipanen. Apakabar dengan salada, tomat, dan timun yang terbuang selama ini di piring nasi goreng pesanan kita. Saya langsung merasa bersalah kepada para petani.

Belum lagi soal melatih kesabaran. Mau sebanyak apapun tanaman dipupuk, tidak bisa mempercepat pertumbuhannya sesuai dengan keinginan kita. Semua butuh proses, sama seperti merawat bayi.

Ternyata berkebun telah memberikan begitu banyak efek positif kepada saya, lebih dari sekedar mengisi waktu luang. Kegiatan ini buat saya bukan hanya soal menanam sayur lalu hasilnya dinikmati. Tapi lebih dari itu. Berkebun buat saya adalah sebuah perjalanan yang bersifat spiritual, dimana saya harus menyerahkan semuanya kembali pada Allah swt.

Comments