Skip to main content

Posts

Hidup Biasa-Biasa Saja

  Di era digital ini, sangat mudah bagi siapapun untuk menunjukkan eksistensi diri. Dengan berbagai platform yang ada, semua orang dapat menyuarakan apa yang menjadi kekhawatiran dalam dirinya, menunjukkan prestasi dan pencapaian yang berhasil didapat, atau bahkan membagikan kisah sedih yanng terjadi dalam hidupnya. Semua terasa normal hingga rasanya justru aneh jika kita tidak menjadi bagian dari itu.  Karena terasa normal untuk membagikan berbagai hal yang terjadi dalam hidup seseorang di dunia maya, saya tentu juga melakukannya. Hal yang wajar dan biasa saja rasanya memberitahu khalayak ramai bahwa saya baru saja menikah, anak pertama dan kedua saya  telah lahir, saya sedang berada di suatu tempat melakukan sesuatu, dan berbagai hal lain yang terjadi di keseharian saya.  Melihat keseharian orang lain melalui layar ponsel pun menjadi kegiatan yang tidak terlewatkan. Saya turut larut dalam aliran, di dunia yang hyperconnected ini. Tanpa sadar, saya juga jadi terbiasa membandingkan dir
Recent posts

Tentang Berkebun

Perjalanan berkebun saya dimulai pada awal tahun 2020, saat itu pandemi belum mulai. Ada dua alasan mengapa saya mulai menanam, pertama karena saya merasa bosan di rumah aja mengurus anak dan suami, kedua karena saya mau makan sayur pakcoy yang mudah saya dapatkan di Depok, tapi sulit di Prabumulih.  Sebelum tanaman sayur, t anaman pertama yang saya rawat adalah tanaman hias lidah mertua. Kemudian saya mulai menanam kembali atau regrow sayur kangkung, wortel, dan pakcoy dari sisa masak. Lidah mertua yang saya beli waktu itu ukurannya sudah cukup tinggi, tapi hanya ada 3 helai di dalam satu pot ukuran sedang. Saya melakukan percobaan stek untuk memperbanyak lidah mertua saya. Hasilnya gagal, karena saya meletakkan pot yang berisi stek tanaman di tempat yang terlalu teduh, sementara lidah mertua sangat suka dengan sinar matahari.  Begitu juga dengan wortel dan pakcoy, berkali-kali saya coba tapi pertumbuhannya selalu berhenti setelah beberapa cm helai daun muncul, kemudian mulai membusu

Sebuah Renungan di Akhir 2020

  Di masa depan, teknologi pasti akan jauh lebih canggih. Sekarang saja sudah canggih, saya tidak bisa membayangkan akan seperti apa 10-20 tahun yang akan datang. Bahkan bila membandingkan hari ini dengan 5 tahun yang lalu saja sudah banyak perubahan yang terjadi di bidang teknologi. Tapi apakah hidup manusia bisa dipastikan lebih baik dengan teknologi canggih sebagai penunjang? Maksud saya, coba saja lihat bagaimana dunia sekarang. Ketika ada virus baru dan seluruh dunia lumpuh, banyak hal yang justru back to basic. Tentu saja ada teknologi yang sangat diandalkan di masa pandemi ini, misalnya teleconference. Bahkan setahun yang lalu saja banyak orang belum begitu familiar dengan Zoom.  Tapi rasanya disaat krisis seperti ini kita tidak bisa bergantung 100% dengan teknologi. Di masa awal pandemi, banyak yang menimbun bahan makanan karena tidak bisa keluar rumah. Saya rasa saat itu yang paling tenang dan tidak panik adalah para petani. Karena mereka bisa menumbuhkan makanan untuk mereka

Fighting Plastic

Menolak menggunakan kantong plastik (kresek) ketika berbelanja ternyata tidak semudah yang saya pikirkan. Atau setidaknya, tidak mudah ketika baru memulainya. Karena ternyata, harus ada usaha ekstra menolak membawa pulang kantong plastik sehabis berbelanja.  Ini mungkin tidak akan terjadi kalau berbelanja di swalayan atau minimarket. Apalagi beberapa daerah sudah menerapkan larangan penggunaan kantong plastik. Tapi berbeda ceritanya kalau belanja di pasar, warung, atau tukang sayur. Entah ini terjadi juga di kota lain atau tidak, tapi inilah yang saya alami.  Ketika belanja sayur di pasar, sering saya berhadapan dengan penjual yang bersikeras memasukkan belanjaan saya ke kantong plastik meskipun saya sudah menolak. Padahal kalau dipikir bukannya lebih untung di mereka, karena cost untuk membeli kantong plastik akan berkurang. Atau mereka sangat peduli terhadap customernya, takut kerepotan bawa 6 biji bawang bombay tanpa kantong plastik?  Awal-awal belanja di pasar dan bawa wadah plast

Pengalaman Pribadi Stop Media Sosial : Mengapa dan Bagaimana

Tiga aplikasi media sosial yang ada di hp saya adalah Instagram, Twitter, dan Facebook. Untuk Facebook, tidak perlu banyak pertimbangan buat saya menghapus akun secara permanen. Sudah beberapa tahun belakangan saya nggak punya aplikasi nya di hp. Terakhir saya download lagi tujuannya untuk jualan, tapi setelah udah nggak jualan lagi, jarang saya buka.  Instagram, buat saya adalah sumber informasi dan inspirasi. Tidak bisa dipungkiri, hidup sepertinya terpusat di Instagram (atau saya aja yang merasa begini?). Scrolling feed dan explore Instagram buat saya seorang ibu rumah tangga yang tinggal di kota kecil dan nggak punya teman itu seperti jendela dunia. Saya bisa dapat kabar terbaru dari teman, baik yang cukup saya kenal ataupun yang nggak pernah ketemu di kehidupan nyata. Review buku dan film terbaru, banyak saya dapat dari postingan orang di Instagram. Belajar berkebun, ilmu parenting, inspirasi crafting, semuanya ada.  Beda lagi kalau Twitter. Sebenernya saya juga udah lama nggak bu

Digital Minimalism : On Living Better with Less Technology

Setelah saya (secara tidak sengaja) "terekspos" dengan gagasan Cal Newport mengenai quit social media , saya sudah cukup yakin akan berhenti menggunakan media sosial secara aktif. Tapi karena masih ingin mengulik lagi tentang digital minimalism , akhirnya saya baca bukunya. Isi buku ini sangat membuka mata sehingga saya pikir semua orang harus mengetahui dan menerapkan filofosi digital minimalism ini sesegera mungkin. Karena teknologi akan selamanya ada dan terus berkembang dalam hidup kita. Perkembangannya begitu cepat sehingga jika kita tidak take a step back and pause untuk benar-benar berpikir apakah ini baik atau buruk, kita akan terus terbawa arus. Ingat masa-masa awal sosial media? Friendster, Myspace, lalu Facebook, Twitter, Path, sekarang Instagram. Sepertinya sampai kiamat tidak akan ada habisnya. Sudah saatnya kita menentukan, mau terus-menerus mengikuti perkembangan terbaru atau selektif memilih mana yang benar-benar kita butuhkan?  Sepertinya di Indonesia, pembi

Mengapa (setidaknya) Kita Harus Berpikir Untuk Berhenti Menggunakan Media Sosial

Pembahasan mengenai efek buruk dari media sosial mudah ditemukan di berbagai artikel, penelitian, seminar, dll. Sepertinya saya sudah paham dan setuju bahwa media sosial dapat memberikan efek samping yang tidak baik untuk kesehatan fisik dan mental. Tapi itu tidak cukup untuk membuat saya berhenti (atau setidaknya mengurangi) penggunaan media sosial dalam keseharian.  Sampai akhirnya secara tidak sengaja saya menemukan sebuah video Ted Talk oleh Cal Newport berjudul Quit Social Media. Saya menghapus permanen akun facebook dan uninstall instagram segera setelah menonton video tersebut. Cal Newport adalah seorang profesor ilmu komputer yang menulis beberapa judul buku self help, dua diantaranya adalah Deep Work dan Digital Minimalism. Dalam Digital Minimalism, Ia mengutarakan gagasan mengenai bagaimana layanan di smartphone saat ini telah begitu memikat dan membuat ketagihan, sehingga menurunkan kualitas hidup masyarakat. Berikut ini adalah ringkasan mengenai gagasan tersebut, yang saya